Kamis, 25 November 2010

MENDEFINISIKAN WACANA DAN IDEOLOGI


WACANA

Discourse/ wacana diperkenalkan oleh seorang filsuf Prancis bernama Michel Foucault (antoni ,2004). Ismail Marahimin mengartikan wacana sebagai berikut:

“kemampuan untuk maju menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya” dan “ komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur” (sobur, 2009)

Jika definisi ini kita jadikan panutan, maka semua tulisan yang logis, teratur dan resmi ini kita sebut dengan wacana.

Sebuah tulisan adalah sebuah wacana. Tetapi semua yang tertulis itu bukan berarti wacana. Seperti contonya adalah teks pidato, tertulis tapi bukan sebagai wacana. Kita mengenal bahwa wacana ada yang tertulis dan tidak tertulis (lisan). Kata-kata itu sejalan dengan pendapat Guntur Tarigan bahwa:

“istilah wacana dipergunakan untuk mencakup bukan hanya percakapan/ obrolan, tetapi juga pembicaraan di muka umum, tulisan, serta upaya-upaya formal seperti laporan ilmiah dan sandiwara/lakon-lakon” (sobur, 2009)

Menurut Samsuri wacana adalah

“ rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi, biasanya terdiri atas seperangkat kalimat yang mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan yang lain. Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan dan dapat pula melalui bahasa tulisan” (sobur, 2009)

Pembahasan mengenai wacana di sisi lain adalah membahas tentang bahasa dan tuturan. Makna bahasa di sini berada dalam rangkaian konteks dan situasi, seperti yang dikemukakan oleh Firth :

“language as only meaningful in it’s context of situation”

Ia berpendapat bahwa pembahasan wacana pada dasarnya merupakan pembahasan terhadap hubungan antara konteks. Seperti halnya konteks yang terdapat dalam teks, pembahasan itu memaparkan hubungan antara kalimat yang membentuk wacana. Sederhananya, wacana berarti suatu ide ataupun gagasan yang dipaparkan secara terbuka kepada publik agar timbul pengertian dan pemahaman secara luas.

berbeda dengan Kladen, ia berpendapat bahwa :

“wacana sebagai ucapan dalam mana seorang pembicara menyampaikan sesuatu tentang sesuatu kepada pendengarnya” (Sobur, 2009)

Wacana selalu mengandaikan pembicara/ penulis, apa yang dibicarakan, dan pendengar/ pembaca. Dalam kaitannya pada hal ini, bahasa merupakan sebuah mediasi dalam prosos ini. Wacana itu sendiri seperti kata Tarigan:

“mencakup keempat penggunaan bahasa yaitu ekspresi diri sendiri, eksposisi, sastra, dan persuasi” (sobur, 2009)

Mills, dengan mengacu pada pendapat Foucault, membedakan pengertian wacana sebagai tiga macam (sobur, 2009). Untuk yang pertama dilihat dari level konseptual teoritis. Menurut level ini, wacana sebagai tempat/ ruang umum dari semua pernyataan yaitu semua ujaran/ teks yang mempunyai makna danefek dalam dunia nyata.

Yang berikutnya adalah konteks penggunanaan, yang berarti wacana sebagai sekumpulan pernyataan yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori konseptual tertentu. Pemahaman ini menekankan pada upaya untuk mengidentifikasi struktur tertentu dalam wacana, yaitu kelompok ujaran yang diatur dengan suatu cara tertentu.

Untuk yang terakhir adalah mengenai metode penjelasannya. Menurut metode ini, wacana adalah suatu grafik yang diatur untuk menjelaskan berbagai macam pernyataan.

Jadi, saya simpulkan bahwa wacana menjelaskan peristiwa terjadi seperti terbentuknya sebuah kalimat atau pernyataan yang logis dan teratur, wacana juga merupakan suatu proses sosial agar saling memahami satu sama lain untuk seperangkat aturan dalam berkomunikasi.

Dalam komunikasi, istilah wacana biasanya digunakan dalam obrolan (Littlejohn, 2008). Wacana selalu dipahami sebagai bagian dari arus komunikasi yang sedang berlangsung yang memiliki rasa ketertarikan. Contohnya seperti seorang dosen yang sedang meminta mendiskusikan pertanyaan di kelas dan para mahasiswa merespons dengan jawaban, maka ketika itu kita sedang melihat wacana dalam tindakan. Jika diskusinya berjalan dengan baik, maka mahasiswa akan merespons satu sama lain, dan dosenpun ikut serta dalam diskusi tersebut. Kita dapat melihat dalam keseluruhan diskusi itu sebagai wacana, namun selalu timbul pertanyaan bagaimana pesan memperoleh makna dari seluruh konteks percakapan.

Kita dapat mengutip dari Scott Jacobs mengenai tiga hal yang dapat kita pelajari dengan menguji percakapan yang dikenal dengan analisis wacana (Littlejohn, 2008).

Hal pertama yang dapat kita pelajari adalah bagaimana manusia memahami pesan. Jadi informasi apa yang akan kita sampaikan itu dapat ditangkap atau dicerna maksudnya oleh seseorang.

Hal yang kedua adalah bagaimana meminta sesuatu dengan perkataan. Apa pilihan yang kita miliki ketika kita ingin melakukan sesuatu seperti membuat permintaan dan menyalami seseorang? Bagaimana seseorang memutuskan untuk mengatakannya dan bagaimana orang itu dapat mengetahui antara benar dan salah dalam mengubah sesuatu menjadi kata? Dari waktu ke waktu dalam kelompok social, pola interaksi tertentu menjadi sumber dimana kita benar-benar dapat bergantung padanya untuk mengabulkan sebuah tujuan. Orang lain akan memahami apa yang sedang kita lakukan karena berbagi makna dari pola interaksi ini. Contohnya seperti ketika kita sedang sibuk dan banyak pekerjaan, lalu kita meminta teman kita keluar dengan tujuan agar tidak mengganggu pekerjaan kita, mungkin kita akan berkata “ saya akan senang pergi keluar dari pekerjaan yang menumpuk malam ini”. Teman kita tahu bahwa kita sedang “memancing” untuk sebuah undangan, tetapi juga sadar bahwa kita juga mengajaknya “keluar”.

Dan yang ketiga adalah kita dapat memperlihatkan bagaimana membuat pola pembicaraan masuk akal dan logis. Seperti dalam percakapan, contohnya, ada sebuah alur maju dan mundur diantara orang-orang yang sedang bercakap-cakap. Bagaimana mereka mengurai kata untuk menjadi rasional.

Menurut Ellis :

memahami wacana adalah sebuah tindakan pragmatis dimana pelaku komunikasi menggunakan pemaknaan bersama untuk mencapai keterkaitan. Komunikasi berlangsung karena pelaku komunikasi memiliki kesamaan makna. Ellis memisahkan tiga karakter wacana yang memungkinkan terjadinya pemahaman. (Littlejohn, 2008).

Yang pertama adalah kejelasan (intelligibility). Wacana akan dikatakan jelas jika dalam wacana tersebut mengandung bukti yang memungkinkan pelaku komunikasi membuat kesimpulan terhadap maknanya. Suatu contoh ketika seorang ayah bertanya kepada anaknya “ hei nak, yang di lantai itu jaketmu atau bukan?” maka seorang anak akan berpikir bahwa itu adalah sebuah perintah atau permintaan ayahnya untuk mengambil jaket tersebut.

Karakteristik kedua adalah pengaturan (organization). Dalam karakterisitk disini kita membicarakan sesuatu mengenai kualitas wacana, karena wacana yang berkualitas memungkinkan adanya pembicaraan yang rasional.

Yang terakhir adalah verifikasi. Dalam sebuah percakapan, pernyataan seseorang dapat membuktikan atau menegaskan makna pernyataan lainnya. Seperti contoh, ketika anak menjawab “ ya, saya akan mengambilnya”, ia membuktikan perintah yang dikeluarkan oleh ayahnya. Jadi, pelaku percakapan menggunakan asas memberi dan menerima dari percakapan mereka untuk mencapai sebuah persetujuan bersama atas kesimpulan.

IDEOLOGI

Istilah ideology diperkenalkan pertama kali oleh filsuf Prancis Destutt de Tracy untuk menjelaskan ilmu tentang ide, yaitu sebuah disiplin ilmu yang memungkinkan orang untuk mengenali prasangka-prasangka dan bias-bias mereka. Secara cultural, ideology menentukan sekumpulan ide yang dimaksudkan untuk mendahulukan kepentingan-kepentingan kelompok social tertentu, dan seringkali menimbulkan kerugian bagi orang lain, karena ideology dominan ataupun memiliki kecendrungan dengan sesuatu yang negatif. Ideology dapat didefinisikan secara netral, dan sebaliknya dapat didefinisikan secara kritis. Secara netral ideology dipandang sebagai seperangkat ide tanpa konotasi-konotasi politis yang jelas atau terang-terangan. Secara kritis, ideology dipandang sebagai seperangkat ide tempat orang membiasakan dirinya sendiri dan orang lain dalam konteks sosiohistoris yang lebih khusus, dan tempat kemakmuran kelompok-kelompok tertentu dikedepankan. Dalam ideology terkandung makna bahwa ide-ide itu akan terus diperjuangkan melalui berbagai wacana public.

Istilah ideology penting untuk sebagian teori kritis. Sebuah ideology adalah sekumpulan ide-ide yang menyusun sebuah kelompok nyata, sebuah perwakilan dari ssstem atau sebuah makna dari kode yang memerintah bagaimana individu dan kelompok melihat dunia (Littlejohn, 2008). Dalam Marxisme klasik, sebuah ideologi adalah sekumpulan ide-ide keliru yang diabadikan oleh kekuatan politik dominan. Bagi Marxis klasik, ilmu harus digunakan untuk menguak kebenaran supaya mengatasi kesadaran yang salah (false consciousness) tentang ideologi.

Para ahli teori yang lebih terkini cenderung menegaskan bahwa tidak ada ideologi yang dominan satu pun, tetapi kelas dominan tersebut dalam masyarakat disusun oleh mereka sendiri dengan sebuah perjuangan antara beberapa ideologi.

Louis Althusser seorang penganut Marxis asal Prancis mengemukakan bahwa ideologi merupakan kehadiran dari struktur masyarakat itu sendiri dan muncul dari praktik sebenarnya yang dijalankan oleh institusi dalam masyarakat. Seperti hal tersebut, ideologi sebenarnya membentuk kesadaran individu dan menciptakan pemahaman subjektif seseorang terhadap pengalaman (Littlejohn, 2008).

Dalam model organisasi sosial (superstruktur) yang menciptakan ideology ini, yang berpengaruh pada gagasan individu tentang kenyataan. Menurut Althusser, superstruktur ini terdiri atas aparat Negara represif seperti halnya polisi dan militer, dan perangkat negara ideologis seperti pendidikan, agama dan media massa.

Kita hidup dalam sekumpulan kondisi materi nyata, tetapi kita biasanya tidak memahami hubungan kita dengan kondisi sebenarnya, kecuali dengan ideologi.

Begitu besar pengaruh ideology dalam kehidupan kita. Para ilmuwan komunikasi dan ilmuan politik sepaham bahwa masalah ideologi dapat menjadi faktor penghambat berlangsungnya proses komunikasi. Karena beda ideologi, berbeda pula pola pikir individu. Karena ideologi yang terbentuk sudah terpatri dalam pikiran mereka, sehingga sangat sulit sekali menyatukan ideologi antar kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Oleh sebab itu, sangat bisa dimaklumi jika setiap anggota kelompok ideologi akan berorientasi kepada kelompoknya dalam setiap perilaku dan pola pikirnya. Seperti halnya sebuah Negara, maka setiap Negara akan berorientasi kepada Negara yang berideologi sama.

Di dalam sebuah ideologi, kepercayaan dan perasaan sangat penting. Ideologi juga berhubungan dengan hati dan pikiran juga. Kita sering berideologi secara tidak sadar, kita tidak selalu berpikir dengan seksama apa yang kita lakukan. Banyak kegiatan-kegiatan social kita yang bertentangan dengan kepercayaan, perasaan , norma dan ini semua dilakukan atas dasar ketidaksadaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar